Kamis, 13 Juni 2013

Ghibah (Mengunjing)



Ghibah (Mengunjing)
Dikutip dari buku Tazkiyatun Nafs (Ibnu Taimiyah, 2010: 293-311)
Ghibah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah yakni sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa yang dimaksud ghibah adalah Engkau menyebutkan bagi saudaramu sesuatu yang tidak ia sukai. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika sesuatu tersebut memang ada pada diri saudaraku tersebut?” Beliau bersabda, “Jikalau yang engkau katakan itu terdapat padanya, maka engkau mengghibahnya, dan jikalau yang engkau katakan itu tidak terdapat pada dirinya maka engkau telah menganiaya.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ad-darimi). Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang berbuat ghibah berarti ia telah berbohong.
Hukum berdusta adalah haram, baik itu kepada seorang muslim, kafir, orang yang baik ataupun orang yang jahat, dan berdusta kepada orang-orang mukmin jauh lebih besar dosanya.  Namun, ada beberapa perkara yang membolehkan untuk berdusta. Perkara tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ummu kultsum binti Uqbah, bahwa rasulullah saw telah bersabda, “bukanlah kedustaan orang yang mendamaikan diantara manusia sehingga ia berkata baik atau memberikan isyarat kebaikan (HR. Al Bukhori dan Muslim).” Lebih rinci dijelaskan, yang dimaksud dengan diperbolehkannya dusta ialah meliputi 3 hal, yaitu mendamaikan anatar manusia, dalam peperangan, dan seorang suami yang berbicara pada istrinya.
1.    Al-Ma’aridh (perkataan samar-samar untuk menghilangkan dusta)
Disebut juga At-Ta’ridh, artinya dusta. Ucapan itu dinilai dari makna, karena makna itulah yang nantinya akan dipahami oleh orang yang diajaknya bicara. jika makna dari lafazh yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pembicara berarti ia telah berdusta, jika makna yang diucapkan sesuai dengan maksud pembicara meski dipahami lain oleh orang yang mendengarnya, maka inilah yang disebut dengan at-ta’aridh. At-ta’arid pernah dilakukan oleh beberapa nabi sebelumnya, seperti nabi Ibrahim as dan nabi muhammad saw. Contoh yang dilakukan nabi ibrahim as diabadikan dalam QS Al Anbiya’ ayat 63, yang artinya “sebenarnya (patung)besar itu yang melakukannya.”  Ini terjadi ketika nabi ibrahim as melawan pemimpin kaumnya, setelah apa yang dilakukan oleh ibrahim kepada berhala sesembahan dan pemimpin kaum itu menjadi murka maka dikatakan oleh ibrahim sebagaimana ayat diatas. Contoh lain, jika kita ditanya “dari mana?” lalu kita menjawab, “dari rumah saudara.” Maksud dari ucapakan kita adalah saudara satu iman, dan jika orang lain memahaminya dengan saudara satu kandung, ini tidak lantas membuat kita berdusta. Namun, jika kita ditanya “dari mana?”, dan menjawab “dari sekolah.” Padahal hatinya berkata dia baru pulang dari bermain, maka itulah dusta.
2.    Al-Hamz dan Al-Lamz
Al Hamz yaitu menyebutkan kejelekan seseorang dengan ghibahnya, sedangkan Al-Lamz adalah mencela dihadapnya. keduanya termasuk jenis ghibah karena perbuatan itu sebagaimana ghibah dan membuat sakit hati orang yang dicelanya.
3.    Bolehkah kita berghibah?
Ternyata, pada beberapa hal ghibah itu boleh dilakukan. Hal ini berlaku pada sesorang yang didzalimi maka ia dibolehkan berghibah dengan mencegah kedzaliman atau untuk mendapatkan haknya kembali dari orang yang telah mendzaliminya. Allah berfirman dalam QS  An-Nisa: 148  yang artinya, Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) yang diucapkan secara terus terang kecuali oleh orang yang didzalimi. Ayat tersebut berkaitan dengan seseorang yang singgah pada suatu kaum, namun kaum tersebut enggan untuk menjamunya. Sikap kaum tersebut merupakan suatu bentuk kedzaliman, sebab menjamu tamu hukumnya adalah wajib. Rasulullah saw bersabda, bagiku orang yang mampu boleh menangguhkannya, halal untuk mengungkankannya dan memberikan tindakan kepadanya (HR Ibnu Majah). Menjelaskan atau menceritakan kedzaliman orang lain adalah boleh dengan syarat tidak berlebih-lebihan sehingga akan menimbulkan dusta.
Selain alasan di atas, ghibah boleh dilakukan untuk keperluan menasehati sesama orang islam, baik masalah agama maupun dunia mereka. sebagai contoh, ketika itu ada dua pemuda yang melamar Fatimah binti Qaih, lalu ia memusyawarkannya dengan Rasulullah saw dan menyampaikan kepada beliau, “sesungguhnya Muawiyah dan Abu Jaham telah melamarku.” Rasulullah saw menanggapinya dengan menjawab, “Adapun Muawiyyah, orang yang susah kehidupannya, tidak ada hartanya. Sementara Abu Jaham adalah orang yang suka memukul perempuan.”

Sumber:
Taimiyah, Ibnu. (2010). Tazkiyatun Nafs. Diterjemahkan oleh M. Rasikh dan Muslim Arif. Jakarta: Darus Sunnah Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar