Ghibah (Mengunjing)
Dikutip dari buku Tazkiyatun Nafs (Ibnu
Taimiyah, 2010: 293-311)
Ghibah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah yakni
sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa yang dimaksud ghibah adalah Engkau
menyebutkan bagi saudaramu sesuatu yang tidak ia sukai. Kemudian dikatakan
kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika sesuatu tersebut memang ada
pada diri saudaraku tersebut?” Beliau bersabda, “Jikalau yang engkau katakan
itu terdapat padanya, maka engkau mengghibahnya, dan jikalau yang engkau
katakan itu tidak terdapat pada dirinya maka engkau telah menganiaya.” (HR
Muslim, Ahmad, dan Ad-darimi). Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang berbuat
ghibah berarti ia telah berbohong.
Hukum berdusta adalah haram, baik itu kepada seorang
muslim, kafir, orang yang baik ataupun orang yang jahat, dan berdusta kepada
orang-orang mukmin jauh lebih besar dosanya.
Namun, ada beberapa perkara yang membolehkan untuk berdusta. Perkara tersebut
sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ummu kultsum binti Uqbah, bahwa
rasulullah saw telah bersabda, “bukanlah kedustaan orang yang mendamaikan diantara
manusia sehingga ia berkata baik atau memberikan isyarat kebaikan (HR. Al
Bukhori dan Muslim).” Lebih rinci dijelaskan, yang dimaksud dengan diperbolehkannya
dusta ialah meliputi 3 hal, yaitu mendamaikan anatar manusia, dalam peperangan,
dan seorang suami yang berbicara pada istrinya.
1.
Al-Ma’aridh (perkataan
samar-samar untuk menghilangkan dusta)
Disebut juga At-Ta’ridh, artinya
dusta. Ucapan itu dinilai dari makna, karena makna itulah yang nantinya akan
dipahami oleh orang yang diajaknya bicara. jika makna dari lafazh yang
diucapkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pembicara berarti ia telah
berdusta, jika makna yang diucapkan sesuai dengan maksud pembicara meski
dipahami lain oleh orang yang mendengarnya, maka inilah yang disebut dengan
at-ta’aridh. At-ta’arid pernah dilakukan oleh beberapa nabi sebelumnya, seperti
nabi Ibrahim as dan nabi muhammad saw. Contoh yang dilakukan nabi ibrahim as
diabadikan dalam QS Al Anbiya’ ayat 63, yang artinya “sebenarnya (patung)besar
itu yang melakukannya.” Ini terjadi
ketika nabi ibrahim as melawan pemimpin kaumnya, setelah apa yang dilakukan
oleh ibrahim kepada berhala sesembahan dan pemimpin kaum itu menjadi murka maka
dikatakan oleh ibrahim sebagaimana ayat diatas. Contoh lain, jika kita ditanya “dari
mana?” lalu kita menjawab, “dari rumah saudara.” Maksud dari ucapakan kita
adalah saudara satu iman, dan jika orang lain memahaminya dengan saudara satu
kandung, ini tidak lantas membuat kita berdusta. Namun, jika kita ditanya “dari
mana?”, dan menjawab “dari sekolah.” Padahal hatinya berkata dia baru pulang
dari bermain, maka itulah dusta.
2.
Al-Hamz dan Al-Lamz
Al Hamz yaitu menyebutkan kejelekan
seseorang dengan ghibahnya, sedangkan Al-Lamz adalah mencela dihadapnya. keduanya
termasuk jenis ghibah karena perbuatan itu sebagaimana ghibah dan membuat sakit
hati orang yang dicelanya.
3.
Bolehkah kita berghibah?
Ternyata, pada beberapa hal ghibah
itu boleh dilakukan. Hal ini berlaku pada sesorang yang didzalimi maka ia
dibolehkan berghibah dengan mencegah kedzaliman atau untuk mendapatkan haknya
kembali dari orang yang telah mendzaliminya. Allah berfirman dalam QS An-Nisa: 148 yang artinya, Allah tidak menyukai perkataan
buruk, (yang diucapkan) yang diucapkan secara terus terang kecuali oleh orang
yang didzalimi. Ayat tersebut berkaitan dengan seseorang yang singgah pada
suatu kaum, namun kaum tersebut enggan untuk menjamunya. Sikap kaum tersebut
merupakan suatu bentuk kedzaliman, sebab menjamu tamu hukumnya adalah wajib. Rasulullah
saw bersabda, bagiku orang yang mampu boleh menangguhkannya, halal untuk
mengungkankannya dan memberikan tindakan kepadanya (HR Ibnu Majah). Menjelaskan
atau menceritakan kedzaliman orang lain adalah boleh dengan syarat tidak
berlebih-lebihan sehingga akan menimbulkan dusta.
Selain alasan di atas, ghibah boleh
dilakukan untuk keperluan menasehati sesama orang islam, baik masalah agama
maupun dunia mereka. sebagai contoh, ketika itu ada dua pemuda yang melamar
Fatimah binti Qaih, lalu ia memusyawarkannya dengan Rasulullah saw dan
menyampaikan kepada beliau, “sesungguhnya Muawiyah dan Abu Jaham telah
melamarku.” Rasulullah saw menanggapinya dengan menjawab, “Adapun
Muawiyyah, orang yang susah kehidupannya, tidak ada hartanya. Sementara Abu
Jaham adalah orang yang suka memukul perempuan.”
Sumber:
Taimiyah, Ibnu. (2010). Tazkiyatun
Nafs. Diterjemahkan oleh M. Rasikh dan Muslim Arif. Jakarta: Darus Sunnah Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar